Rasulullah mengeluhkan sakit yang beliau rasakan dalam beberapa malam terakhir di bulan Safar tahun ke-11 Hijriyah. Keluarga dan para sahabat mengira bahwa itu hanyalah gangguan kesehatan yang datang dan pergi dan tidak akan berlangsung lama, karena nanti juga akan hilang dengan segera. Tak seorang pun yang berpikir atau menyangka bahwa itu adalah sakit yang berakhir dengan wafatnya beliau.
Begitu mendengar ayahanda sakit, Fatimah dengan segera menuju rumah beliau. Beliau saat itu sedang berada di rumah Aisyah R.A. Ketika Rasulullah melihat Fatimah datang dan ia adalah orang yang paling mirip dalam hal sifat pendian dan ketenangan, beliau bangkit untuk menemui dan menyambutnya, kemudian mengecupnya dan mendudukannya di sisi kanan beliau dan menampakkan kegembiraan kepadanya bahwa beliau merasa ajal beliau telah tiba.
Ketika Fatimah menangis beliau melipurnya dengan ucapan beliau, "Dan sesunguhnya kamu adalah keluargaku yang pertama kali akan menyusulku", lalu belia lanjutkan, "Tidakkah kamu ingin menjadi pemimpin wanita umat ini?"
Fatimah gembira demi apa yang ia dengar dan diapun tertawa setelah sebelumnya menangis. Aisyah merasa aneh dan bertanya. "Aku tidak pernah melihat keanehan seperti yang aku lihat hari ini, terdapat kegembiraan yang paling dekat dengan kesedihan." Kemudian ia bertanya kepada Fatimah tentang kabar gembira apa yang disampaikan Rasulullah kepadanya. Fatimah menjawab, "Aku tidak mungkin menyebarkan rahasia beliau."
Fatimah hari itu juga pulang ke rumah dan telah merasa tenang dengan kondisi ayahnya. Ia telah melihat beliau sehat wal afiat dan sakit beliau telah hilang.
Setelah beberapa hari, Fatimah mendengar bahwa Nabi kembali jatuh sakit lagi. Maka dia pun bergegas dan dirinya dikuasai rasa gelisah bercampur takut. Ia segera kerumah ayahnya dan melihat beliau. Tampak beliau menahan diri dan memperlihatkan ketabahan dan kesabaran yang merupakan akhlak mulia beliau.
Sebelumnya, beliau sempat mengunjungi istri-istri beliau, para Ummul Mukminin, sebagaimana kebiasaan beliau. Hingga ketika beliau sampai di rumah Ummul Mukminin Maimunah binti Al Harits Al-Hilaliyah, rasa sakit beliau semakin hebat. Beliau pun memanggil istri-istri beliau dan meminta izin mereka agar dirawat di rumah Aisyah.
Fatimah tinggal di sisi beliau untuk melayani beliau, berjaga demi beliau dengan penuh kesabaran. Tidak henti-hentinya ia berdoa dan memohon pada Allah. Akan tetapi dia tidak mampu menahan diri ketika rasa sakit ayahanda tercinta semakin berat. Sungguh beliau tampak tertekan berjuang menghadapi sakit. Beliau berkata, "Aduh sedihnya." Air mata Fatimah berlinang. Ia berkata dengan suara yang tertahan untuk diungkapkan dan diperas oleh kesedihan, "Aduh sedihnya aku karena kesedihanmu, wahai ayahanda." Maka beliau menjawab demi meringankan kesedihan Fatimah meskipun sebenarnya beliau sendiri merasa sakit, "Tidak ada sakit lagi pada ayahmu setelah hari ini."
Lalu tibalah keputusan Allah untuk Nabi SAW. Maka beliau berusaha dengan segenap kemampuan beliau mengulang-ulang, "Tetapi (aku akan bertemu) dengan Teman Yang Paling Tinggi." Dan beliau pun bertemu dengan Teman Yang Paling Tinggi, meningalkan Fatimah dalam kondisi yatim sebagaimana kondisi beliau yang yatim karena ditingal ibunda beliau ketika masih kecil, yang wafat dalam perjalanan dari Makkah menuju Madinah, di desa Al-Abwa', dan ayahanda beliau yang wafat ketika beliau masih berupa janin dalam rahim ibunda.
Sedangkan Fatimah dalam menghadapi musibah besar ini, ia tidak menemukan orang yang dapat melipur lara yang dirsakannya. Sungguh peristiwa meyedihkan dan musibah berat ini telah membuatnya lupa. Dan dengan cepat ia sadar dirinya telah berdiri di samping kubur ayahanda. Ia menangis dan menangis. Orang-orang ikut menangis karena melihatnya menangis. Ia menggenggam tanah kubur itu. Dengan rasa sayang yang mendalam, Anas bin Malik pelayan Rasulullah datang mendekat kepadanya untuk menenangkannya dari rasa sedih dan mengajaknya bersikap sabar. Namun Fatimah justru menyelanya dengan mengatakan, "Bagaimana mungkin hatimu rela menyerahkan jasad Rasulullah kepada bumi?"
Anas pun menjadi terenyuh. Ia tidak kuasa untuk menahan air matanya. Di tengah-tengah suasana sedih itu, masuklah Ali bin Abu Thalib menenangkan istrinya dan berusaha meringankan duka dan kesedihannya. Ia melihat kepada Anas bin Malik dan mengulangi lagi kata-katanya, "Wahai Anas, bagaimana mungkin hati kalian tenang menimbunkan tanah pada jasad Rasulullah SAW?"
Fatimah mengatakan yang demikian itu dan yang senada dengannya sebagaimana yang disampaikan oleh para ahli dan para penulis sejarah, adalah karena kesedihannya yang mendalam karena berpisah dengan orang tersayang baginda Nabi SAW. Barangkali jika ia ingat bahwa dirinyalah orang yang pertama kali akan menyusul beliau, maka ia akan bersikap tabah dan sabar.
Sumber: Anak Cucu Nabi Oleh: Syaikh Abdul Mun'im Al-Hasyimi. Hal. 172-175