Mu’awiyah menjawab surat tersebut. Dari Muawiyah kepada Heraklius (Hiraql):
“Apa urusanmu ikut campur urusan dua saudara yang sedang berselisih? Kalau kamu tidak diam, akan aku kirimkan pasukan kepadamu. Pasukan yang mana bagian terdepan berada di tempatmu dan yang terakhir berada di tempatku ini. Pasukan yang akan memenggal kepalamu dan membawakannya kepadaku, dan akan aku serahkan ke Ali.”
Sepenggal kisah di atas setidaknya menggambarkan dua hal kepada kita.
1. Bahwa perbedaan pendapat, perselisihan, bahkan konflik di kalangan umat bukan merupakan perkara baru
Ia sudah ada, bahkan sejak sesaat Rasulullah SAW wafat, yg melibatkan dua kelompok utama penyokong dakwah Rasulullah, yaitu kaum muhajirin dan anshor.
Tapi ummat ini senantiasa punya jalan keluar dan caranya sendiri dlm menyelesaikan konflik dan perselisihan yg terjadi di tengahtengah mereka.
Kisah-kisah konflik dan perselisihan tersebut justru kini menjadi warisan berharga yang merupakan referensi bagi kita dalam menyelesaikan konflik ketika perselisihan mencuat di antara kita.
2. Dalam suasana konflik sekalipun, generasi terbaik umat ini tetap mampu membedakan mana musuh yg sesungguhnya dan mana saudara yg hanya sekedar berselisih paham
Sikap inilah yang kemudian mampu menutup celah adu domba yg akan dilakukan oleh musuh, maupun oleh (meminjam istilah ust. Anis Matta) 'orang lain di tengah kita'.
Tak bisa kita bayangkan bagaimana jadinya jika saat itu Mu'awiyah menerima tawaran dari Heraklius.
Demikian pula dgn kita saat ini. Bisa jadi kita berbeda pandangan dengan saudara kita atas satu perkara. Namun bukan berarti kita akan selalu berbeda pandangan denganya dalam segala hal.
Jika kita bisa saling menghormati dgn pihak lain terhadap hal-hal yang belum kita sepakati, maka terhadap saudara sendiri seharusnya hal tersebut bisa lebih kita lakukan.
Apalagi di saat saudara kita tengah bersiap berlaga di arena. Tahan sejenak silang pendapat di antara kita, karena musuh yang sesungguhnya sudah di depan mata. Jangan salah melempar sasaran yang justru hanya akan membuat musuh bertepuk tangan.
Akal sehat kita pasti lebih memilih memenangkan pilihan saudara kita, ketimbang musuh kita bersama yang harus menang.
Oleh Prof Achmad Satori Ismail dengan judul asli 'Siapa Musuhmu Siapa Saudaramu' [sumber]